PKL Nekat Berjualan Lagi di Alun alun Purbalingga Meski Kucing kucingan dengan Satpol PP

Ilustrasi PKL Alun alun Purbalingga tetap bertahan jualan
Sumber :
  • Instagram @satpolpppurbalingga

PKL di Alun-alun Purbalingga tetap berjualan meski digusur Satpol PP. Faktor lokasi strategis membuat pedagang bertahan, meski relokasi ke PFC sepi peminat

Viva, Banyumas - Para pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Alun-alun Purbalingga tetap memilih berjualan meski harus kucing-kucingan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Bagi mereka, usaha dagang memiliki risiko yang harus dihadapi, termasuk kemungkinan digusur aparat.

Salah satunya adalah Fiki Arif, mantan pedagang di Purbalingga Food Center (PFC). Awalnya, ia berjualan di PFC dengan harapan tempat itu bisa menjadi pusat kuliner baru yang ramai dikunjungi warga.

Pada awalnya, dagangannya memang sempat laris. Namun, seiring waktu, jumlah pengunjung menurun drastis hingga pendapatannya tidak lagi mencukupi.

Dari PFC Kembali ke Alun-alun D

Dikutip dari akun Instagram @infopurbalingga.id, Kondisi tersebut membuat Fiki memutuskan untuk kembali berjualan di kawasan Alun-alun Purbalingga. Meski sadar bahwa lokasi ini bukan zona yang diperuntukkan bagi PKL, ia merasa peluang penjualan lebih besar karena kawasan alun-alun selalu ramai dengan aktivitas warga, terutama di sore dan malam hari.

Bagi Fiki, pilihan ini bukan tanpa risiko. Satpol PP kerap melakukan penertiban, sehingga ia dan pedagang lain harus pintar mencari waktu yang tepat untuk berjualan.

Situasi kucing-kucingan ini sudah menjadi konsekuensi yang harus diterima demi keberlangsungan usahanya. Fenomena PKL kembali ke Alun-alun Purbalingga menegaskan bahwa lokasi strategis sangat menentukan keberhasilan usaha kecil.

Meski pemerintah telah menyiapkan fasilitas seperti PFC, realitas di lapangan menunjukkan bahwa minat masyarakat belum sepenuhnya berpindah ke lokasi tersebut.

Alun-alun sendiri menjadi titik pusat aktivitas warga, mulai dari tempat rekreasi keluarga, olahraga, hingga sekadar berkumpul. Keramaian inilah yang membuat para pedagang merasa lebih diuntungkan jika berjualan di sana.

Bagi pemerintah daerah, kondisi ini menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi, keberadaan PKL mendukung perekonomian rakyat kecil dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan kuliner murah. Namun di sisi lain, penataan ruang publik tetap harus dijaga agar kawasan alun-alun tidak semrawut.

Upaya penataan PKL seringkali berhadapan dengan masalah klasik: ketidakcocokan antara lokasi relokasi dengan preferensi pedagang maupun konsumen. Solusi jangka panjang dibutuhkan agar kepentingan semua pihak bisa terakomodasi, baik dari sisi ketertiban kota maupun kesejahteraan pedagang

PKL di Alun-alun Purbalingga tetap berjualan meski digusur Satpol PP. Faktor lokasi strategis membuat pedagang bertahan, meski relokasi ke PFC sepi peminat

Viva, Banyumas - Para pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Alun-alun Purbalingga tetap memilih berjualan meski harus kucing-kucingan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Bagi mereka, usaha dagang memiliki risiko yang harus dihadapi, termasuk kemungkinan digusur aparat.

Salah satunya adalah Fiki Arif, mantan pedagang di Purbalingga Food Center (PFC). Awalnya, ia berjualan di PFC dengan harapan tempat itu bisa menjadi pusat kuliner baru yang ramai dikunjungi warga.

Pada awalnya, dagangannya memang sempat laris. Namun, seiring waktu, jumlah pengunjung menurun drastis hingga pendapatannya tidak lagi mencukupi.

Dari PFC Kembali ke Alun-alun D

Dikutip dari akun Instagram @infopurbalingga.id, Kondisi tersebut membuat Fiki memutuskan untuk kembali berjualan di kawasan Alun-alun Purbalingga. Meski sadar bahwa lokasi ini bukan zona yang diperuntukkan bagi PKL, ia merasa peluang penjualan lebih besar karena kawasan alun-alun selalu ramai dengan aktivitas warga, terutama di sore dan malam hari.

Bagi Fiki, pilihan ini bukan tanpa risiko. Satpol PP kerap melakukan penertiban, sehingga ia dan pedagang lain harus pintar mencari waktu yang tepat untuk berjualan.

Situasi kucing-kucingan ini sudah menjadi konsekuensi yang harus diterima demi keberlangsungan usahanya. Fenomena PKL kembali ke Alun-alun Purbalingga menegaskan bahwa lokasi strategis sangat menentukan keberhasilan usaha kecil.

Meski pemerintah telah menyiapkan fasilitas seperti PFC, realitas di lapangan menunjukkan bahwa minat masyarakat belum sepenuhnya berpindah ke lokasi tersebut.

Alun-alun sendiri menjadi titik pusat aktivitas warga, mulai dari tempat rekreasi keluarga, olahraga, hingga sekadar berkumpul. Keramaian inilah yang membuat para pedagang merasa lebih diuntungkan jika berjualan di sana.

Bagi pemerintah daerah, kondisi ini menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi, keberadaan PKL mendukung perekonomian rakyat kecil dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan kuliner murah. Namun di sisi lain, penataan ruang publik tetap harus dijaga agar kawasan alun-alun tidak semrawut.

Upaya penataan PKL seringkali berhadapan dengan masalah klasik: ketidakcocokan antara lokasi relokasi dengan preferensi pedagang maupun konsumen. Solusi jangka panjang dibutuhkan agar kepentingan semua pihak bisa terakomodasi, baik dari sisi ketertiban kota maupun kesejahteraan pedagang