Ramai Isu Royalti Indonesia Raya, PSSI: Hapus Aturan yang Bikin Gaduh

Sekjen PSSI Yunus Nusi saat memberikan pernyataan
Sumber :
  • instagram @yunusnusi.id

Viva, Banyumas - Polemik mengenai pembayaran royalti untuk lagu kebangsaan “Indonesia Raya” yang diputar dalam acara komersial mendapat tanggapan tegas dari Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Sekretaris Jenderal PSSI, Yunus Nusi, menilai aturan tersebut sebaiknya dihapus karena hanya menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.

Kursi Pelatih Patrick Kluivert Goyang, Nama Jesus Casas Mencuat ke Permukaan

Isu ini mencuat setelah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menyatakan bahwa lagu yang memiliki hak cipta dan diputar di ruang publik wajib membayar royalti. Termasuk “Indonesia Raya” apabila digunakan dalam pertunjukan berbayar, seperti orkestra, simfoni, atau laga Timnas Indonesia dengan tiket masuk.

Yunus Nusi menegaskan bahwa “Indonesia Raya” adalah simbol persatuan bangsa dan pembangkit semangat cinta tanah air. Menurutnya, momen menyanyikan lagu ini di stadion bersama puluhan ribu suporter adalah pengalaman yang sarat makna dan emosional. “Lagu kebangsaan ini menjadi perekat dan pembangkit nasionalisme.

Patrick Kluivert Ragu Bertahan Usai Gagal Bawa Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026

Di Stadion GBK, saat puluhan ribu orang menyanyikannya, ada yang merinding bahkan menangis. Itulah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,” ujarnya dikutip dari Viva. Ia mengingatkan bahwa Wage Rudolf Supratman menciptakan lagu “Indonesia Raya” sebagai bentuk perjuangan untuk memerdekakan bangsa dari penjajahan.

Lagu ini, kata Yunus, dibuat dengan tulus dan tanpa pamrih. “Kami yakin tidak pernah terlintas di benak sang pencipta bahwa kelak lagu ini harus dibayar jika dinyanyikan. Lagu ini adalah warisan perjuangan yang diberikan kepada anak bangsa tanpa mengharapkan imbalan,” tegasnya.

Erick Thohir Minta Maaf: Impian Indonesia ke Piala Dunia 2026 Belum Terwujud

Polemik ini, menurut Yunus, berpotensi mengikis makna luhur lagu kebangsaan jika terus dipertahankan. Ia menilai aturan tersebut lebih banyak menimbulkan keresahan ketimbang manfaat.

“Sebaiknya aturan ini segera dihapus. Isu ini berisik, membuat gaduh, dan tidak produktif,” tandasnya.

Halaman Selanjutnya
img_title