Blora Kalah dari Jombang, Bupati Arief Ngegas Soal Ketidakadilan Dana Blok Cepu Siap Gugat ke MK

Bupati Blora Arief Rohman ngegas soal DBH Migas
Sumber :
  • Pemkab Blora

Bupati Blora Arief Rohman menegaskan ketidakadilan pembagian DBH Migas Blok Cepu. Ia siap menggugat UU HKPD ke Mahkamah Konstitusi demi keadilan bagi Blora sebagai daerah penghasil

Viva, Banyumas - Suasana rapat koordinasi di lantai dua Bapperida Blora mendadak tegang ketika Bupati Blora, Dr. H. Arief Rohman, M.Si., “ngegas” menyoroti ketimpangan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas Blok Cepu. Dalam forum resmi bersama perwakilan Bappenas dan sejumlah pejabat kementerian, Arief mempertanyakan keadilan pembagian DBH yang dinilai timpang dan tidak berpihak pada Blora.

“Mosok Blora kalah sama Jombang? Padahal wilayah kerja pertambangan (WKP) Blok Cepu, 37 persennya ada di Blora,” tegas Arief dengan nada tinggi dikutip dari Pemkab Blora.

Ia menyebut, selama ini Blora hanya dihitung sebagai daerah perbatasan, bukan daerah penghasil, padahal secara geografis dan dampak lingkungan, Blora justru menanggung beban paling berat.

Menurutnya, formula pembagian DBH yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) tidak mencerminkan rasa keadilan.

Karena itu, Pemerintah Kabupaten Blora berencana mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar regulasi tersebut ditinjau ulang. Arief mencontohkan, daerah seperti Jombang dan Lamongan yang tidak berbatasan langsung dengan wilayah sumur produksi justru mendapat porsi DBH lebih besar.

“Mestinya pembagian DBH itu dihitung dari panjang perbatasan wilayah, bukan sekadar administrasi. Blora paling dekat dengan mulut sumur, tapi malah dapat paling kecil,” ujarnya.

Selain soal jarak, Bupati Arief juga menyinggung dampak negatif yang ditanggung masyarakat Blora akibat aktivitas migas di Blok Cepu. Mulai dari krisis air di wilayah Kedungtuban hingga kerusakan jalan akibat lalu lintas kendaraan berat selama masa eksplorasi.

“Air Bengawan Solo disedot, jalan rusak, tapi DBH-nya kecil. Ini jelas tidak adil,” katanya.

Langkah hukum melalui JR telah mendapat dukungan dari DPRD Blora dan tokoh nasional Boyamin Saiman dari MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) yang siap mengawal proses tersebut.

Arief menegaskan, perjuangan ini bukan soal belas kasihan, tetapi tentang hak konstitusional daerah penghasil energi.

“Blora ini lumbung energi, tapi hanya dapat nama, bukan hasil. Kami tidak minta lebih, hanya menuntut keadilan,” pungkas Arief.

Dengan sikap tegas ini, Pemkab Blora berharap pemerintah pusat dapat meninjau ulang kebijakan DBH agar benar-benar berkeadilan dan berpihak pada daerah yang terdampak langsung

Bupati Blora Arief Rohman menegaskan ketidakadilan pembagian DBH Migas Blok Cepu. Ia siap menggugat UU HKPD ke Mahkamah Konstitusi demi keadilan bagi Blora sebagai daerah penghasil

Viva, Banyumas - Suasana rapat koordinasi di lantai dua Bapperida Blora mendadak tegang ketika Bupati Blora, Dr. H. Arief Rohman, M.Si., “ngegas” menyoroti ketimpangan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas Blok Cepu. Dalam forum resmi bersama perwakilan Bappenas dan sejumlah pejabat kementerian, Arief mempertanyakan keadilan pembagian DBH yang dinilai timpang dan tidak berpihak pada Blora.

“Mosok Blora kalah sama Jombang? Padahal wilayah kerja pertambangan (WKP) Blok Cepu, 37 persennya ada di Blora,” tegas Arief dengan nada tinggi dikutip dari Pemkab Blora.

Ia menyebut, selama ini Blora hanya dihitung sebagai daerah perbatasan, bukan daerah penghasil, padahal secara geografis dan dampak lingkungan, Blora justru menanggung beban paling berat.

Menurutnya, formula pembagian DBH yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) tidak mencerminkan rasa keadilan.

Karena itu, Pemerintah Kabupaten Blora berencana mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar regulasi tersebut ditinjau ulang. Arief mencontohkan, daerah seperti Jombang dan Lamongan yang tidak berbatasan langsung dengan wilayah sumur produksi justru mendapat porsi DBH lebih besar.

“Mestinya pembagian DBH itu dihitung dari panjang perbatasan wilayah, bukan sekadar administrasi. Blora paling dekat dengan mulut sumur, tapi malah dapat paling kecil,” ujarnya.

Selain soal jarak, Bupati Arief juga menyinggung dampak negatif yang ditanggung masyarakat Blora akibat aktivitas migas di Blok Cepu. Mulai dari krisis air di wilayah Kedungtuban hingga kerusakan jalan akibat lalu lintas kendaraan berat selama masa eksplorasi.

“Air Bengawan Solo disedot, jalan rusak, tapi DBH-nya kecil. Ini jelas tidak adil,” katanya.

Langkah hukum melalui JR telah mendapat dukungan dari DPRD Blora dan tokoh nasional Boyamin Saiman dari MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) yang siap mengawal proses tersebut.

Arief menegaskan, perjuangan ini bukan soal belas kasihan, tetapi tentang hak konstitusional daerah penghasil energi.

“Blora ini lumbung energi, tapi hanya dapat nama, bukan hasil. Kami tidak minta lebih, hanya menuntut keadilan,” pungkas Arief.

Dengan sikap tegas ini, Pemkab Blora berharap pemerintah pusat dapat meninjau ulang kebijakan DBH agar benar-benar berkeadilan dan berpihak pada daerah yang terdampak langsung