Tanah di Demak Terus Turun 10 cm Per Tahun! BRIN Peringatkan Ancaman Tenggelam Diam Diam di Pantura
- instagram @brin_indonesia
BRIN mencatat tanah di Demak turun hingga 10 cm per tahun akibat pengambilan air tanah dan beban bangunan. Jika tak ditangani, Demak terancam tenggelam perlahan di masa depan
Viva, Banyumas - Fenomena penurunan tanah (land subsidence) kini menjadi ancaman nyata bagi wilayah pesisir utara Jawa, terutama Kabupaten Demak. Menurut temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), permukaan tanah di sejumlah titik di Pantura, termasuk Demak, turun hingga 10 sentimeter per tahun.
Penurunan ini berlangsung perlahan, tanpa disadari masyarakat, namun dampaknya sangat besar bagi kehidupan sosial dan ekonomi daerah.
Para peneliti BRIN menjelaskan, penyebab utama penurunan tanah di Demak bukan karena gempa atau longsor, melainkan akibat pengambilan air tanah berlebihan, pemadatan alami sedimen, serta beban bangunan di atas tanah yang lunak.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya sistem pengelolaan air yang berkelanjutan, sehingga tekanan terhadap lapisan bawah tanah terus meningkat. Akibat dari penurunan tanah ini mulai terasa nyata.
Bangunan-bangunan di pesisir Demak mengalami retakan, jalan raya amblas, dan banjir rob semakin sering terjadi. Bahkan, di beberapa wilayah, air laut sudah masuk lebih jauh ke daratan dibandingkan beberapa tahun lalu.
Fenomena ini disebut BRIN sebagai “tenggelam diam-diam” karena terjadi perlahan tanpa gejala ekstrem di permukaan.
BRIN menggunakan teknologi Persistent Scatterer Interferometric Synthetic Aperture Radar (PS-InSAR) untuk mendeteksi pergerakan tanah dengan presisi hingga skala milimeter per tahun. Melalui data satelit tersebut, para peneliti memantau perubahan topografi wilayah pesisir secara real-time.
Hasilnya, Demak menjadi salah satu titik dengan laju penurunan tertinggi di Jawa Tengah. Fenomena ini menuntut tindakan mitigasi dan adaptasi segera, terutama dengan pembatasan pengambilan air tanah dan penerapan sistem air bersih terpadu.
Selain itu, penataan tata ruang wilayah pesisir perlu disesuaikan dengan risiko penurunan tanah agar pembangunan tidak menambah beban ekologis.
Pemerintah daerah bersama lembaga riset dan masyarakat diharapkan bersinergi dalam membangun kesadaran kolektif.
Penurunan tanah bukan hanya isu teknis, tetapi ancaman jangka panjang bagi keberlanjutan wilayah pesisir Demak. Tanpa langkah nyata, bukan tidak mungkin sebagian kawasan pesisir akan benar-benar tenggelam dalam beberapa dekade mendatang
BRIN mencatat tanah di Demak turun hingga 10 cm per tahun akibat pengambilan air tanah dan beban bangunan. Jika tak ditangani, Demak terancam tenggelam perlahan di masa depan
Viva, Banyumas - Fenomena penurunan tanah (land subsidence) kini menjadi ancaman nyata bagi wilayah pesisir utara Jawa, terutama Kabupaten Demak. Menurut temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), permukaan tanah di sejumlah titik di Pantura, termasuk Demak, turun hingga 10 sentimeter per tahun.
Penurunan ini berlangsung perlahan, tanpa disadari masyarakat, namun dampaknya sangat besar bagi kehidupan sosial dan ekonomi daerah.
Para peneliti BRIN menjelaskan, penyebab utama penurunan tanah di Demak bukan karena gempa atau longsor, melainkan akibat pengambilan air tanah berlebihan, pemadatan alami sedimen, serta beban bangunan di atas tanah yang lunak.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya sistem pengelolaan air yang berkelanjutan, sehingga tekanan terhadap lapisan bawah tanah terus meningkat. Akibat dari penurunan tanah ini mulai terasa nyata.
Bangunan-bangunan di pesisir Demak mengalami retakan, jalan raya amblas, dan banjir rob semakin sering terjadi. Bahkan, di beberapa wilayah, air laut sudah masuk lebih jauh ke daratan dibandingkan beberapa tahun lalu.
Fenomena ini disebut BRIN sebagai “tenggelam diam-diam” karena terjadi perlahan tanpa gejala ekstrem di permukaan.
BRIN menggunakan teknologi Persistent Scatterer Interferometric Synthetic Aperture Radar (PS-InSAR) untuk mendeteksi pergerakan tanah dengan presisi hingga skala milimeter per tahun. Melalui data satelit tersebut, para peneliti memantau perubahan topografi wilayah pesisir secara real-time.
Hasilnya, Demak menjadi salah satu titik dengan laju penurunan tertinggi di Jawa Tengah. Fenomena ini menuntut tindakan mitigasi dan adaptasi segera, terutama dengan pembatasan pengambilan air tanah dan penerapan sistem air bersih terpadu.
Selain itu, penataan tata ruang wilayah pesisir perlu disesuaikan dengan risiko penurunan tanah agar pembangunan tidak menambah beban ekologis.
Pemerintah daerah bersama lembaga riset dan masyarakat diharapkan bersinergi dalam membangun kesadaran kolektif.
Penurunan tanah bukan hanya isu teknis, tetapi ancaman jangka panjang bagi keberlanjutan wilayah pesisir Demak. Tanpa langkah nyata, bukan tidak mungkin sebagian kawasan pesisir akan benar-benar tenggelam dalam beberapa dekade mendatang