Isu Anies Baswedan yang Naikkan Tunjangan DPRD DKI, Geisz Chalifah Buka Bukaan

Geisz Chalifah bantah tudingan soal tunjangan DPRD
Sumber :
  • instagram @geisz_chalifah

Geisz Chalifah meluruskan isu tunjangan DPRD DKI. Ia menunjukkan data lengkap bahwa kenaikan signifikan justru terjadi di era Ahok, bukan hanya Anies

Viva, Banyumas - Isu tunjangan rumah DPRD DKI Jakarta kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah media menyebut kenaikan menjadi Rp70 juta untuk anggota dan Rp78 juta untuk pimpinan diteken di era Gubernur Anies Baswedan.

Pernyataan tersebut langsung memicu reaksi keras dari loyalis Anies, Geisz Chalifah. Melalui akun Instagram pribadinya, Geisz menegaskan bahwa pemberitaan itu tidak lengkap dan berpotensi menyesatkan publik. Ia menyajikan data kronologis kenaikan tunjangan DPRD sejak era Gubernur Fauzi Bowo hingga masa kepemimpinan Anies.

“Jangan gunakan data sepotong-sepotong hanya untuk membangun narasi negatif. Kalau mau adu data sama saya, siap-siap saja,” tulis Geisz dalam unggahannya, Sabtu (5/9/2025).

Geisz memaparkan, tunjangan rumah DPRD DKI pertama kali ditetapkan pada masa Gubernur Fauzi Bowo (2007) dengan nominal Rp16 juta untuk anggota dan Rp20 juta untuk pimpinan. Kenaikan signifikan justru terjadi di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2015.

Saat itu, tunjangan melonjak 100% menjadi Rp30 juta untuk anggota dan Rp40 juta untuk pimpinan. Tidak berhenti di situ, setahun kemudian, Ahok kembali menaikkan tunjangan menjadi Rp60 juta untuk anggota dan Rp70 juta untuk pimpinan.

Pada masa Gubernur Djarot Saiful Hidayat, tidak ada kenaikan tunjangan. Baru pada 2022, di era Anies Baswedan, angka tunjangan kembali meningkat, yakni Rp70 juta untuk anggota dan Rp78 juta untuk pimpinan.

Menurut Geisz, framing media yang hanya menyoroti era Anies seakan-akan mengabaikan kenaikan drastis di era sebelumnya.

“Kalau bicara data, kenaikan 100% itu terjadi di masa Ahok, bukan Anies. Fakta harus dilihat utuh,” tegasnya. Geisz juga menyebut nama Heru Budi Hartono, kala itu menjabat sebagai Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), sebagai salah satu figur penting di balik kenaikan tunjangan DPRD DKI pada 2015.

Kontroversi tunjangan DPRD DKI mencerminkan bagaimana isu politik seringkali dipelintir menjadi narasi yang menyudutkan pihak tertentu. Para pengamat menilai, transparansi data dan komunikasi publik menjadi kunci agar masyarakat tidak terjebak dalam informasi yang bias. Geisz menegaskan, kritik boleh saja, tetapi harus berdasar pada fakta yang lengkap.

“Kalau mau menyerang, gunakan data valid. Jangan hanya potong-potong untuk kepentingan politik,” pungkasnya

Geisz Chalifah meluruskan isu tunjangan DPRD DKI. Ia menunjukkan data lengkap bahwa kenaikan signifikan justru terjadi di era Ahok, bukan hanya Anies

Viva, Banyumas - Isu tunjangan rumah DPRD DKI Jakarta kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah media menyebut kenaikan menjadi Rp70 juta untuk anggota dan Rp78 juta untuk pimpinan diteken di era Gubernur Anies Baswedan.

Pernyataan tersebut langsung memicu reaksi keras dari loyalis Anies, Geisz Chalifah. Melalui akun Instagram pribadinya, Geisz menegaskan bahwa pemberitaan itu tidak lengkap dan berpotensi menyesatkan publik. Ia menyajikan data kronologis kenaikan tunjangan DPRD sejak era Gubernur Fauzi Bowo hingga masa kepemimpinan Anies.

“Jangan gunakan data sepotong-sepotong hanya untuk membangun narasi negatif. Kalau mau adu data sama saya, siap-siap saja,” tulis Geisz dalam unggahannya, Sabtu (5/9/2025).

Geisz memaparkan, tunjangan rumah DPRD DKI pertama kali ditetapkan pada masa Gubernur Fauzi Bowo (2007) dengan nominal Rp16 juta untuk anggota dan Rp20 juta untuk pimpinan. Kenaikan signifikan justru terjadi di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2015.

Saat itu, tunjangan melonjak 100% menjadi Rp30 juta untuk anggota dan Rp40 juta untuk pimpinan. Tidak berhenti di situ, setahun kemudian, Ahok kembali menaikkan tunjangan menjadi Rp60 juta untuk anggota dan Rp70 juta untuk pimpinan.

Pada masa Gubernur Djarot Saiful Hidayat, tidak ada kenaikan tunjangan. Baru pada 2022, di era Anies Baswedan, angka tunjangan kembali meningkat, yakni Rp70 juta untuk anggota dan Rp78 juta untuk pimpinan.

Menurut Geisz, framing media yang hanya menyoroti era Anies seakan-akan mengabaikan kenaikan drastis di era sebelumnya.

“Kalau bicara data, kenaikan 100% itu terjadi di masa Ahok, bukan Anies. Fakta harus dilihat utuh,” tegasnya. Geisz juga menyebut nama Heru Budi Hartono, kala itu menjabat sebagai Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), sebagai salah satu figur penting di balik kenaikan tunjangan DPRD DKI pada 2015.

Kontroversi tunjangan DPRD DKI mencerminkan bagaimana isu politik seringkali dipelintir menjadi narasi yang menyudutkan pihak tertentu. Para pengamat menilai, transparansi data dan komunikasi publik menjadi kunci agar masyarakat tidak terjebak dalam informasi yang bias. Geisz menegaskan, kritik boleh saja, tetapi harus berdasar pada fakta yang lengkap.

“Kalau mau menyerang, gunakan data valid. Jangan hanya potong-potong untuk kepentingan politik,” pungkasnya